Selasa, 18 November 2014

*..Awal Paragraf..*

arjawinangun

"Karena di awal paragraf menjadi tempat awal aku mengenalmu.."

 

Aku tahu paragraf-paragraf ini tidak layak untuk kutinggalkan disini. Paragraf ini panjang, terlalu panjang malah. Nyaris tak ada tanda koma untuk sekedar menjadi tempat menghela nafas dari rasa sesak yang masih membekas. Nyaris tak ada spasi untuk menjadi tempat berhenti, atau paling tidak menjadi tempat bersandar untuk melepas sedikit lelah dan peluh yang terus menerus mengeluh. Dan kita tahu, paragraf ini akan panjang. Semakin panjang. Hanya saja kita kurang paham. Terlebih aku. Ah, memang banyak yang aku tahu. Tapi sepertinya aku yang selalu bodoh ketika sampai dalam proses memahami. Aku tahu persis dimana aku harus memulai, tapi tak paham bagaimana harus memulai. Aku tahu akhir mana yang harus kupilih, tapi tak paham bagaimana cara mengakhirinya. Begitulah. Sedangkan Semesta menuntut kita untuk memiliki pemahaman yang tinggi untuk setiap jalanNya. Menyerah? Seharusnya begitu. Ketika kita tak paham apapun, maka sebaiknya menyerah sebelum akhirnya menyiksa diri sendiri. Mungkin akan lebih banyak jalan terbuka untukku jika tidak bertahan, hanya saja aku masih ingin bertahan. Lebih tepatnya, aku ingin tetap bertahan. Ya. Aku bertahan untuk tetap sampai di ujung paragraf. Tempat kau berdiri tegak. Dan aku ingin kau menatapku, mengetahui keberadaanku, memahami arti paragrafku. Tetaplah berada disana. Setidaknya kau hanya perlu tersenyum. Dan aku tahu apa yang sedang aku tuliskan. Setidaknya kau hanya perlu terus menatap. Dan aku tahu apa yang sedang aku pahami. Setidaknya tetaplah berada di ujung sana. Tetaplah berada dalam jalan ceritaku. Maka aku rasa aku mampu untuk menyelesaikan semua paragraf ini sampai akhir. Setidaknya kita tahu, kita punya jalan cerita yang harus kita akhiri..

Rasanya kita perlu memiliki kamus yang sama sebelum memaknai ini semua, agar tak ada yang salah mengira untuk setiap rasa yang disebut rindu. Aku harap kita memiliki pemahaman yang sama tentang rasa yang masih meninggalkan tanya, agar tak ada yang terlalu berharap dan tetap menunggu. Aku harap kita bisa memaknai detail-detail ini bersama. Sehingga paling tidak, tak ada lebih banyak detik yang terbuang untuk mengira-ngira makna dari setiap jengkal paragraf yang tercipta. Tapi kita tahu, kita tak pernah punya banyak waktu yang bersedia melonggarkan diri untuk kita habiskan bersama. Apalagi untuk menyediakan diri bagi kita berdua untuk mengartikan tiap patah kata yang entah bagaimana keluar begitu saja dari dalam pena. Tidak, waktu tak pernah bersedia untuk itu. Mungkin kamus kita berbeda bahasa atau mungkin kita yang berbeda dalam memahami. Rasa-rasanya aku lebih suka jika kita menjadi buta saja, setidaknya kita mungkin hanya akan saling mengirim huruf braille sehingga kita hanya perlu membaca tanpa harus lagi kesulitan untuk memahami..

Jarak yang memisahkan kita saat ini adalah milik semesta. Jarak yang selalu sama. Dan kita selalu berada di dua tempat yang berbeda. Kamu selalu disana. Sendiri. Berseberangan denganku yang tengah menunggu. Aku sendiri juga kurang paham tentang apa yang aku tunggu. Aku dan keyakinanmu atau harapanku sendiri. Menunggu kamu datang atau hanya takut melukai harapanku sendiri. Sekali lagi, aku tak pernah paham. Aku cuma ingin kamu tahu, aku menunggu disini. Kalimat itu singkat. Terlalu singkat untuk aku meyakinkan keberadaanku. Tapi kamu benar-benar selalu disana. Kadang kamu tersenyum. Kadang kamu mengangguk. Kadang kamu menegur. Tapi lebih sering kamu diam dan hanya membiarkan aku tahu bahwa kamu selalu disana. Selalu. Dan kita tetap dalam jarak. Aku yang masih takut melangkah dan kamu yang masih meragu. Jarak kita tetap sama meski waktu telah merubah diri menjadi beberapa purnama. Mungkin aku yang kurang paham tentang bagaimana cara meyakinkanmu. Atau kamu yang tak mengerti caraku. Sampai ku menghabiskan berlembar-lembar kertas, beratus-ratus pena hanya untuk alasan yang sama. Sampai pada satu titik, Semesta memintaku untuk melangkah. Dan aku masih melihatmu disana. Seperti biasanya kamu sedikit tersenyum. Tanpa bergerak sedikitpun. Hingga aku memberanikan diri untuk mencoba melangkah mengurangi jarak kita..

Awalnya, aku hanya bisa membayangkan bagaimana jadinya bertemu denganmu di masa ketika semua hal sudah berbeda. Keadaan, perasaan, dan rindu yang tidak lagi berwujud sama. Akan jadi seperti apa kita? Barangkali hanya saling senyum yang tidak bisa dibilang ikhlas. Barangkali hanya mengucap sedikit sapa yang tidak bisa dibilang akrab. Barangkali hanya sama-sama gagu untuk memulai bicara. Ya, tempat itu, tempat makan sederhana. Kecil. Bukan restoran mewah, atau cafe tempat orang membagi tawa. Hanya tempat makan pinggir jalan, yang akhirnya bersedia menjadi tempat mewujudkan bayangan yang selama ini hanya hidup dalam pikiran. Yang menjawab semua pertanyaan bagaimana. Dan menghapus semua pernyataan barangkali. Tentang kamu dan aku yang berhadapan namun tak saling memandang. Tentang kamu dan aku yang saling bicara namun tak saling mendengar. Tentang kamu dan aku yang telah berjarak..

Waktu itu aku kembali jatuh. Benar, aku kembali menjatuhkan rasaku padamu. Rasaku sudah jatuh tanpa perlawanan. Bergelimpangan, bergaungan menyusuri tiap sudut ruangan. Tidakkah kamu lihat? Rasaku sudah jatuh tersungkur, diam, tanpa berniat bergeser dari hadapanmu. Seharusnya kamu melihat segalanya. Segala kondisiku setiap kita bertemu. Kondisi yang aku rasa bukan seperti aku. Kondisi seperti itu yang seharusnya kamu lihat, tapi sepertinya kamu tak pernah melihat. Entah sengaja membutakan mata, atau memang benar-benar buta. Dan sebenarnya saat itu aku lebih berharap indera pendengaranmu mendapatkan kekuatan yang dapat mengubah suara-suara disekitarnya menjadi lebih jelas. Mendengar suara hatiku yang terus menerus ungkapkan rasa misalnya. Tapi indera pendengaran mana yang bisa mendengar suara hati, yang sejatinya hati tak mempunyai lidah untuk bisa bicara? Sialnya, aku saat itu tengah terjebak didalam permainan bernama 'teman baik'. Dan dapat disimpulkan bahwa jikapun pendengaranmu mengalami keajaiban untuk bisa mendengar suara hatiku, kamu bisa dengan mudah mengatakan bahwa aku adalah temanmu yang baik. Ya, begitu saja kan? Seharusnya aku sadar, posisi terdekat kita justru membuat kita berdua tetap berada diantara jarak..

Inilah aku, salah satu teman yang telah merubah dirinya menjadi pengagummu. Pengagum yang dulu terlalu cepat menyatakan kekagumannya padamu. Terlalu cepat sebelum kau mengenalku dengan baik. Namun apa daya, aku terlanjur mengagumimu. Terlanjur mencintaimu. Dan terlanjur mengatakannya padamu. Hingga akhirnya Semesta memberikan jarak ini sebagai balasan kelancanganku pada milikNya yang terindah, kamu. Dan pertemuan itu seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Aku kembali terpaku dihadapanmu. Terpaku diam, hening dan berusaha hanya terlihat sebagai teman yang baik, teman yang menyediakan cukup ruang untukmu bersandar. Tidak besar memang, tapi selalu mencukupi jika kamu sadar. Dan aku tak perlu persetujuanmu untuk hal ini. Karena ini semua memang tentang aku. Tentang aku yang meluruh pada sosokmu. Ini sama sekali bukan tentangmu. Memang inilah jalan yang ku pilih. Lebih baik kembali ke tempat semula, hanya menjadi teman daripada harus kehilangan..

Namun peran lama itu kini terlalu sulit aku mainkan. Padahal dulu aku bisa melakukannya, tanpa harus membaca dialog dan skenario yang telah disiapkan. Mungkin karena peran yang sedang kujalani ini bertentangan dengan kata hati. Terlebih karena kamu menganggapku tak penting lagi. Aku tahu, aku bukanlah pemeran utama dalam cerita hidupmu. Aku hanyalah figuran yang sesekali hadir saat dibutuhkan. Yang hadirnya harus diawali dengan sebuah alasan dan keadaan untuk melengkapi sebuah cerita, atau sekedar lewat hanya untuk memberi kesan yang terkadang terabaikan. Seperti saat aku dengan sengaja menjadi orang terakhir yang mengucapkan doa dan harapan di hari teristimewa di dunia. Hanya terlambat beberapa bulan dari dia yang pertama kali mengucapkannya untukmu. Tepatnya kurang lebih terlambat dua ratus hari dari yang seharusnya. Terdengar aneh? Ya, biasanya orang-orang berlomba buat jadi yang pertama. Tapi bagiku kenapa harus jadi yang pertama kalau akhirnya juga akan ditinggalkan? Bukankah lebih baik jadi tempat terakhir walau hanya memberi sebuah kesan yang terabaikan..?

Andai saja aku bisa memutar waktu. Andai saja kita tak pernah bertemu. Mungkin saja keadaan kita tak akan seperti ini. Serumit ini. Kalau saja perasaan ini lebih kuat daripada keegoisan yang kumiliki. Maka tak perlu ada benang kusut yang melilit sekujur tubuhku. Membuatku sesak. Membuatku tak bisa bergerak. Kau tahu ingin sekali aku bisa jujur padamu. Mengatakan apa yang kurasakan. Tapi seolah tak mungkin dan tak akan pernah, dilema hati tak pernah dapat jawaban. Tak bisa mengurai benang kusut yang kulakukan. Jadi aku bisa apa? Selain hanya berpura bodoh dan tak pernah terjadi apa-apa. Dan hari itu aku berusaha berdiri didepanmu dengan sosok yang berbeda. Mungkin tak sesuai yang kau harapkan pada awalnya. Tapi aku ingin kau mengerti, inilah aku! Seperti inilah aku! Apa adanya. Tanpa pernah lagi harus memikirkan banyak perasaan yang mesti kujaga. Ingin memperbaiki segalanya. Bagaimanapun juga aku tak ingin membuatmu malu karena pernah memberikan kesempatan itu padaku, kesempatan menjadi teman terbaikmu. Dan dari semuanya, tak bisa kupungkiri bahwa ini semua karenamu, Kau memberi arti. Terlalu berharga untukku. Hanya satu yang tak pernah berubah hari itu, aku masih sayang kamu. Selamanya. Seperti juga saat menatap dua bola mata milikmu, masih selalu berharap, kebahagiaan akan selalu menunggu didepanmu. Mewarnai hidupmu. Aku ingin selalu melihat binar dimatamu. Ingin melihat senyum di wajahmu. Ingin mimpimu terwujud. Impian impian indah yang pernah kau katakan. Aku ingin sekali bisa membantumu untuk membuat harapan-harapan itu terkabul. Cuma itu. Melihatmu bahagia, mendengarmu bahagia dan berdoa agar kau selalu bahagia..

Namun sayang semuanya sudah terlambat. Saat aku berusaha mengurangi jarak yang tengah semesta buat, kau pergi meninggalkanku dengan jarak yang lebih panjang terpahat. Ya, kamu pergi mengejar mimpimu dengan cara meninggalkan mimpiku. Jadi apakah ini yang terakhir? Jadi apakah ini harus berakhir? Entahlah aku sendiripun tak mengerti dengan perasaan yang muncul setelah dirimu pergi. Semuanya terasa sama, seolah tak ada bedanya. Andai kamu rela untuk membawa dan menyimpan mimpiku, mungkin ini takkan terjadi dan mungkin janji itu masih ada. Tapi kata-kata 'mungkin' dalam hidupmu mungkin tak pernah ada. Dan paragraf-paragraf ini mungkin juga terlihat seperti lelucon bodoh yang mudah kamu tertawai saat kamu membacanya. Maaf aku harus berhenti sejenak di paragraf ini, bukan karena aku bosan atau perangai kekanakan yang sering kamu katakan tentangku tapi aku sedang menghitung perbedaan jarak kita yang luar biasa jauhnya. Dan satu hal yang membuatku lebih membenci ini adalah kita tak bisa saling mendekat. Jauh, terlalu jauh. Bukan tentang tempat dimana kita sedang berdiri, tapi tentang hati yang tak pernah mau mengerti..

Gerimis kembali mendera saat kepergianmu telah sampai didepan mata. Seperti kebiasaannya, rintik pertama selalu hadir tanpa kata yang bermakna rintik kedua dan selanjutnya hanya tinggal menunggu waktu kehadirannya. Begitupun kepergianmu berawalnya tanpa kata, tanpa aba-aba, dan tanpa rencana. Langit kembali melukis tubuhnya dengan tinta warna abu-abu. Bukan hitam atau putih warna favoritku. Aku benci abu abu, aku benci abu-abu yang melukiskan kepastian yang masih semu. Meskipun begitu kini ku telah terbiasa dengan kehadirannya. Mungkin karena ku telah terbiasa bercengkrama dengannya. Karena entah kebetulan atau tidak, gerimis dan abu-abu selalu menemani perjalanan kita. Seolah menandakkan dua hal yang berbeda. Aku yang harus lebih lama menunggu sampai rintik-rintik itu reda, atau aku yang harus berbalik pergi sambil berharap rintik-rintik itu membantuku menghapus jejak yang tercipta. Namun sampai saat ini aku masih selalu setia menyempatkan diri melihat warna langit ditempat ini. Gerimiskah? Hujan? Deras? Atau badai? Andai kamu peka, kamu pasti tahu dimana aku selalu melakukannya. Tempat itu ada di setiap awal paragraf yang kamu baca. Tempat aku pernah menanam sebuah janji. Tempat aku pernah mengubur sebuah mimpi. Satu hal yang pasti, sekian rintik yang mengiringi kepergianmu kali ini membuatku berpikir, benarkah langit sedang bersedih karena kepergianmu? Kurasa akan sangat banyak alasan untuk menolak atau mengiyakan pertanyaan tersebut. Yang pasti campur aduknya perasaanku kali ini tentu perlu disyukuri. Karena itu menandakan bahwa aku masih memiliki hati yang belum mati. Dan aku percaya kata-kata mereka, ketika hujan turun semua tidak akan terlihat, juga hadirnya sebuah rasa di baliknya. Jadi gerimis yang sedang menderas ini kurasa bukan hanya karena rintik hujan yang sedang terjatuh dari langitnya. Karena ada rintik lain yang terjatuh entah dari sudut mana mengiringi kepergianmu dan aku tahu hanya kamu yang tahu jawabannya. Tapi tidak apa-apa walau gerimis mengiringi kepergianmu, kamu masih memiliki payung untukmu berteduh kan? Jangan tanya bagaimana denganku. Aku masih sama. Masih basah. Karena disini aku telah kehilangan payung yang entah hilang kemana. Keyakinan yang entah hanyut kemana. Perasaan yang entah tertinggal dimana. Mungkin mereka telah diterbangkan oleh angin yang tempo hari datang menyapa, tapi lagi-lagi di balik hujan ini semuanya takkan tampak berarti..

Untuk yang kesekian kalinya, aku mohon jelaskan padaku tentang perasaan ini. Perasaan yang tak juga dapat kudefinisikan setelah kepergianmu. Apakah perasaan yang hampa karena telah kehilangan? Ataukah perasaan ikhlas karena telah melepaskan? Perasaan seperti apakah ini? Perasaan ini tak terdeksripsi dan terdefinisi dengan baik, bahkan dalam lembaran-lembaran kamus bahasa yang kumiliki. Jadi, harus kemana aku mencari penjelasan ini? Pada kenyataannya, mungkin hanya kamu yang tahu persis jawaban itu. Tapi bagaimana caranya aku mendapatkan jawaban darimu tanpa harus menampakkan diri dihadapanmu? Sekali lagi bukan karena tak ingin, hanya saja tak mampu. Terlebih karena kini kita telah berjarak. Aku sendiri belum bisa memutuskan, siapa yang melepas dan siapa yang dilepaskan. Mungkin aku, mungkin juga kamu, atau mungkin juga entah. Jadi seharusnya perasaan ini tak ada. Dan seharusnya perasaan ini kita sebut ikhlas saja. Tapi bisakah ini dikatakan ikhlas ketika aku bahkan sama sekali tidak merasa lega? Jadi kita simpulkan bahwa perasaan ini hanya hampa. Tapi bisakah dikatakan hampa ketika aku memang menghendaki segalanya seperti ini? Mungkin ini ikhlas yang sedang membelajarkan diri, ikhlas yang masih saja sedikit merasa kehilangan meski telah merelakan. Atau mungkin ini hampa yang dikehendaki, hampa yang masih memiliki sedikit asa dibalik dirinya. Kumohon sedikit saja jelaskan padaku rasa apa ini? Karena kurasa aku kesulitan untuk menyelami makna yang tak pernah kutemui ujungnya. Aku menyerah. Sampai akhirnya aku berada di depan sebuah beranda yang benar-benar aku kenal. Aku berdiri di beranda tersebut tanpa mengetuk pintu, apalagi memencet bel. Hanya berdiri. Mematung. Kaku. Menunggu sampai pemiliknya membuka pintu. Menggantungkan semuanya pada kebetulan yang kadang mereka sebut sebagai takdir Semesta yang sedang dituliskan. Apa memang harus seperti ini? Ucapku dari balik pintu. Diam. Sunyi. Senyap. Tanpa jawaban..

Namun akan ada saatnya, ketika membuka pintu bukanlah merupakan hal yang mudah dilakukan. Maka temui aku dalam paragraf-paragraf ini. Paragraf yang akan aku tuliskan dengan tinta berwarna merah muda dan sengaja aku selipkan di bawah beranda kecilmu. Berharap akan dengan mudah kau temukan dalam tumpukan paragraf lain, karena merah muda adalah warna favoritmu. Benar kan? Kepadamu, aku ingin menulis paragraf yang akan menggariskan senyum ketika kau baca. Yang akan membuatmu sedikit melamun ditengah waktumu menyesap pahitnya cappuccino di kala senja. Atau mungkin yang akan berkelebat saat kau berada di tengah obrolan bersama teman terbaikmu disana. Kenanglah aku. Dalam ingatan terbaikmu dan dengan senyum paling bahagia. Aku sudah pernah bilang kan kalau aku ingin menjadi teman terbaikmu? Dan kamu juga tahu kalau aku akan selalu menganggapmu seperti itu. Tapi kamu selalu diam. Hanya diam. Dan lagi-lagi ada senyum kecil yang terasa pahit disini. Sebenarnya, diam-diam aku juga selalu mengirimkan doa pada Semesta, meminta agar Semesta bersedia menghapuskan perasaanku untukmu. Tapi sepertinya malaikat tidak bersedia mengamini, sehingga doaku pun tidak terkirim. Mungkin tersangkut di gumpalan awan sana. Atau mungkin doa itu hanya berputar di dalam paragraf yang kita tulis disini. Entahlah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Hanya manusia biasa. Tak memiliki hal istimewa ataupun yang di istimewakan..