Semilir angin malam tak mampu mengusik lamunan. Tatapanku terpaku pada sebuah kotak kecil yang kugenggam sepanjang perjalanan. Aku tak tahu untuk apa aku masih menyimpannya? Kepada siapa aku akan menyerahkannya? Dan mengapa sulit bagiku untuk membuangnya..?
Kembali
aku menerawang, menatap langit hitam tanpa bintang. Aku membayangkan
andai dia ada di atas sana, apakah aku mampu melemparkan kotak kecil ini
tepat di kepalanya? Tepat di depan wajahnya? Atau apakah aku berani
terbang menghampirinya dengan sayapku yang belum juga tumbuh? Sebuah
pertanyaan yang takkan pernah berakhir, pertanyaan terlama sepanjang
putaran jarum jam yang kuletakkan diatas pasir. Hingga aku menyadari
sesuatu. Aku membeku bersama waktu..
Hembusan
nafas panjang menemani tiap pertanyaan tanpa jawaban yang menemani
detik-detik yang terabaikan. Dalam hati aku bicara. Semesta, untuk
kesekian kalinya aku menjanjikan sesuatu pada seseorang. Salahkah jika
aku harus kembali membuangnya? Aku dilema. Ya benar aku dilema. Bukan,
ini bukan dilema. Ini hanyalah tentang sebuah pertanyaan. Pertanyaan
tanpa jawaban..
Dalam hati aku kembali
bicara, Semesta, kali ini aku merasa jatuh tanpa kepingan. Remuk tanpa
kerutan. Bukan patah hati. Bukan patah semangat. Aku hanya kecewa. Lebih
tepatnya kecewa karena dia. Semesta, bagaimana aku bisa mengatakan apa
yang ingin ku katakan? Sekeras-kerasnya aku berteriak hanya tawa yang
aku dengar sebagai balasan. Setinggi tingginya aku mendaki dia hanya
akan menatapku dengan tatapannya yang aneh. Ya, mungkin karena aku aneh
di matanya. Tingkahku aneh di benaknya. Aku seperti tanpa arti untuknya.
Aku yang ia anggap tak beda jauh dengan mereka. Andai aku tahu itu dari
dulu. Aku takkan pernah masuk dalam kehidupannya, dan aku takkan
memasukkannya dalam kehidupanku..
Kembali
aku bercengkrama dengan logika. Untuk apa kotak ini? Untuk siapa? Dia
tidak pernah menganggapku ada. Dia hanya menganggapku sebagai salah satu
dari butiran pasir yang ia simpan dalam botol kaca, yang terombang
ambing di atas deburan ombak yang takkan pernah menyentuh pelabuhan
hatinya. Tanpa pernah dia tahu. Iya dia yang memang tak pernah tahu.
Bukan, mungkin dia saja yang tak pernah sadar..
Kembali
ku menatap kado kecil yang isinya adalah barang yang dia suka. Kuharap
begitu. Ah, aku sudah tak mampu berfikir lagi. Aku sudah tak mampu
menggunakan rasa ini lagi. Tanpa teriakan aku melemparnya, membuangnya
bersama janji-janji dan harapan yang sepertinya hanyalah cerminan
kebodohan yang kumiliki. Maaf aku tak bisa. Maaf aku tak mampu. Maaf
jika aku bukan siapa-siapa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar