Kamis, 21 November 2013

*..Masih Butuh Waktu..*


Ada yang seharusnya punah sebelum hati menjadi benar-benar patah. Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan tapi masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan sebelum luka menjadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan..



Kadang aku bertanya siapa yang berperan sebagai tokoh antagonis dalam cerita yang di tuliskan Tuhan untuk kita hingga tak jarang kita bersedih? Aku sendirikah yang terlalu jahat yang telah memberikan hatiku seutuhnya untuk rela disakiti? Atau kamu yang tak mampu menjaga hatiku dengan baik hingga sampai retak berkeping seperti ini? Menjaga? Ah.. Aku salah lagi dalam memilih kata..

Tanda tanya besar mengganggu dalam benak, sibuk mempertanyakan nyata atau tidak. Di satu sisi aku merelakan bahagiamu, namun di lain sisi bertanya-tanya mengapa bukan denganku. Di satu sisi aku enggan untuk lebih lama menunggu, di lain sisi barangkali masih ada harapan untuk kita bisa bersama. Ternyata tak semudah itu untuk menjadi rela, meski itu untuk melihatmu bahagia..

Sebenarnya aku tahu, kamu tak pernah mengharap kita untuk bersama dalam meniti hari-hari. Aku seperti berada diantara anggukan kepala yang mulutnya berkata tidak. Aku bingung mencari-cari apa yang seharusnya kulakukan setelahnya, karena semua jalan buntu seakan-akan bertuliskan jalan keluar. Sudah kucoba tahu diri untuk menghilang dari segala sudut pandanganmu. Agar kamu tak perlu memberiku asa lagi, dan aku tak perlu menyembunyikan rasa lagi. Namun takdir berkata lain. Seakan ia memberiku seribu jalan untuk kembali merindukanmu, sedangkan kamu masih tetap menutup ujung jalan itu dengan satu kata 'diam'..

Rasanya aneh, ketika ingin pergi dari hati yang tak pernah dihuni. Barangkali sama seperti melepas sesuatu yang tak pernah digenggam. Rasanya aneh, ketika harus merelakan hati yang tak pernah dimiliki. Barangkali sama seperti meninggalkan tempat yang belum sempat kujejaki. Rasanya aneh, ketika harus terluka karena sesuatu yang kusebut cinta, padahal kamu tak pernah menganggap hal itu ada. Barangkali sama seperti menangis tersedu namun tanpa air mata..

Ah sudahlah, kini biarkan aku memberi pengertian untuk diri sendiri, bahwa mungkin saja aku yang telah salah menentukan arah dan arti hadirmu. Mungkin saja menunggu adalah jawaban terbaik, meski tak sepenuhnya membuat keadaan menjadi membaik. Bukan aku sama sekali tidak sedang memperjuangkan, namun hanya berusaha memaklumi segala keterbatasan-keterbatasan. Bukan aku tidak ingin turut dirindukan, namun hanya ingin menghindari hati ini dari kemungkinan dikecewakan. Karena hanya dengan melihat bingkaimu, itu sudah lebih dari cukup untuk membantu menenangkan kerinduan yang sudah sejak lama mengganggu..

Ini bukan tentang soal akhir juga bukan tentang soal awal. Bukan bagaimana caraku memulai dan bukan bagaimana caraku mengakhiri. Tapi ini tentang menjalani, bertahan, dan mendewasa dalam setiap pilihan. Biarkan perasaan ini perlahan mengikuti aliran tanpa terlihat sebagai suatu kesalahan, karena menurutku ini hanyalah bagian dari pelajaran dalam sebuah perjalanan. Jika bukan karena janji sejak awal untuk bahagia dengan pilihanmu sendiri, mungkin takkan kubiarkan mulut ini untuk tetap membisu..

Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih lagi untuk semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan. Walau entah kejutannya itu akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan..

Barangkali, Tuhan hendak mengajarkan aku tentang arti merelakan. Apa yang kudapat dari segala rasa yang kuberi namun tak pernah mendapat balasan. Barangkali kamu hanya cinta titipan, yang kapanpun bisa direnggut kembali oleh Tuhan. Atau barangkali, aku yang terlambat memahami. Bahwa ucap katamu serta tingkah lakumu yang pernah berarti untukku, nyatanya tak pernah berbekas apa-apa di hatimu. Mungkin ini sebuah hukuman dari kenangan. Karena dulu, air mata yang terjatuh di pipimu selalu di sebabkan oleh aku. Karena dulu, tawamu yang menyuarakan nada-nada bahagia sempat tertahan oleh keegoisanku. Karena dulu, kesalahan terfatalku adalah membiarkanmu berlalu..

Merelakan bukanlah hal yang sulit untuk diucapkan, hanya mungkin butuh waktu untuk dilakukan. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar bagi diri untuk menerbangkan segenggam kemungkinan-kemungkinan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. Dan aku butuh lebih dari sekedar waktu, untuk memahami bahwa kita sudah tidak seperti dulu lagi. Untuk memaklumi bahwa hubungan kita sudah tak sedekat dulu lagi. Untuk mengerti bahwa aku sudah tak berarti untukmu lagi..

Dari hati yang terdalam, izinkan aku mengucap maaf untukmu. Maaf, aku terlanjur mencintaimu begitu dalam. Maaf jika perasaan ini hanya bisa terkunci dalam hati. Maaf jika telingamu belum sempat mendengar nama siapa yang selalu membuatku tersenyum lebar. Maaf jika kamu terlalu menghiasi setiap harapan yang ku terbangkan dengan sangat tinggi. Dan, maaf jika aku sulit berpindah ke lain hati. Inilah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengakui hal itu di hadapanmu. Inilah aku, yang masih tetap begitu hingga membiarkan perasaan itu perlahan membunuhku..

Tapi, mungkin itulah cara semesta membuat hatiku dewasa. Kini, aku akan mencoba pergi untuk melarutkan rasa. Semoga hatiku lupa caranya menyesal pernah terjatuh padamu. Semoga hatiku pun lupa caranya pulang jika nanti datang saatnya meninggalkanmu. Semoga bibirku mudah mengingat bagaimana caranya tersenyum sebelum kamu yang menjadi alasan untuk senyumku itu. Pada akhirnya, semoga kamu menemukan bahagiamu yang paling membahagiakan dari ia yang nanti kan berada disampingmu. Pergilah dengan sepasang tangan yang akan membawa harapan terindah dalam hidupmu itu menjadi kenyataan yang kau impikan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Hanya manusia biasa. Tak memiliki hal istimewa ataupun yang di istimewakan..