Minggu, 14 Desember 2014

*..Hujan Di Bulan Desember..*



12 Desember
Pagi ini langit kembali kelam. Awan menghitam..



Kita sama-sama sedang berada dibawah langit dengan warna yang sama. Mendung. Menatap angkasa yang sedang bersiap menyuarakan luka dan murkanya. Dan disini, kita masih saja sibuk menyusun lembar-lembar skenario fiksi bodoh, untuk memerankan tokoh dalam sebuah drama yang disutradarai oleh Semesta..


Tunggu dulu. Tadi aku menyebutkan apa? Kita? Tidak-tidak. Bukan. Ralat. Aku dan kamu bukan kita. Aku dan kamu hanya dua manusia, yang kini berdiri pada dua titik koordinat yang berbeda. Kebetulan saja rotasi dulu pernah mempertemukan aku dan kamu pada titik koordinat yang sama, di perkenankan untuk saling mengenal dan bersua. Aku dan kamu bukan kita. Iya. Tentu saja..


Pagi ini Semesta telah membagi peran untuk aku dan kamu harus jalani hari ini. Kamu dengan skenariomu, dan aku dengan skenarioku. Mendung pagi ini tidak khidmat. Aku tak tertarik untuk memperhatikan apa-apa yang terjadi. Aku terusik dengan mendung hari ini. Ah, lihatlah betapa hujan telah bersiap-siap hendak turun mengguyur lokasi adeganku bermain peran. Sepagi ini Semesta telah suguhkan hujan sebagai sarapan, sungguh perhatian..


Hei tahukah kamu, apa yang aku pikirkan ketika langit kelam menghitam? Aku beritahu jawabannya. Ketika langit kelam hatiku lebam. Ketika awan menghitam aku karam. Angkasa menyeruak luka, aku mendung bersamanya. Pilu yang kamu titipkan padaku lewat rindu semakin membelenggu. Luka yang kamu torehkan di masa lalu rasanya masih memar dan membiru..


Kini hujan akhirnya turun. Langit mengguyur bumi dengan rinainya, angkasa lebih memilih membasuh luka dengan murka. Semua berhamburan. Skenarioku pagi ini tak terselesaikan. Aku berlari mengikuti yang lain, mencari tempat berteduh. Masih dengan membawa kertas dialog yang belum bisa benar-benar kuhafal sedari dulu. Akhirnya, aku lelah. Aku menyerah dan tetap aku tak pernah bisa menghafal dialogku, atau memang karena aku yang tak terlalu pintar untuk bicara dan fasih dalam berbahasa? Sebenarnya aku berharap nanti kita bisa bertemu kembali walau hanya dalam satu sin, dalam satu adegan. Hanya aku dan kamu. Gadis kecil yang seringkali membuatku tak tahan untuk menatap bola mata itu, lalu menyimpan rapat-rapat senyum itu dalam benakku..


Ah, Gadis kecilku, dimana kamu? Berani sekali kamu meninggalkan segunduk rindu yang berceceran di lantai. Menggantungkan setangkai mimpi diatas langit-langit kamar yang tak bisa kugapai. Gadis kecilku, pintar sekali kamu. Buat aku menunggumu di setiap waktu. Kemudian pagi ini, dengan amat sangat bodohnya aku, aku masih saja merindumu. Mencari sosokmu. Yang nyatanya pernah abaikan rasaku. Kamu tinggalkan aku, kamu campakkan aku. Betapa naifnya tokoh yang bernama "Aku" dalam cerita ini..


Hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Ah suasana ini, aku cinta, aku suka, nyanyian hujannya, gemersik lembut anginnya. Kalau saja ini bukan hujan di pagi hari, aku pasti sudah memilih terjun dan bermain dengan hujan. Aku duduk menatap hujan dari balik pohon dan sibuk memikirkanmu, berharap kamu datang menyapaku, menghapus resahku, menghangatkanku dengan sapamu, mengobati lukaku, dan mengusir mendung di kepalaku. Agar aku tak juga menurunkan hujan di sudut mataku..


Ah lihatlah, ketika berteduh pun, aku masih meikirkanmu. Figur seperti apa kamu ini yang dengan berani sekali kamu masuk dan tinggal dalam ceritaku? Berani sekali kamu memenuhi lembar skenarioku dengan namamu? Hei kamu, gadis kecilku yang seringkali kurindu bagaimana ini? Bagaimana dengan dialogku ini? Bagaimana dengan aku dan kamu yang "hanya teman" tapi satu pihak memiliki perasaan lebih dari itu? Bagaimana dengan aku yang kamu tinggalkan, sebelum adegan kita usai..?


Tapi, sudahlah. Mungkin aku saja yang bodoh, mungkin memang aku saja yang berlebihan. Lupakan. Hiraukan. Anggap saja aku ini awan hitam, anggap saja rasaku ini badai yang akan segera berganti dengan pelangi. Biar saja, semua seperti semula. Seperti aku dan kamu yang memang "hanya teman"..


Biar saja, segalanya seperti ini. Yang sudah terjadi, lupakanlah. Abaikanlah bahwa dulu kamu sempat menjadi tokoh utama dalam cerita yang kini sudah tiada. Abaikan saja bahwa dulu aku pernah berucap kata mesra, serta mengungkap cinta. Sudahlah, lupakan. Itu semua hanya bualan. Hanya sebaris dialog yang salah ku ucapkan..


Sudahlah, hiraukan saja. Lagi pula Semesta tahu akan seperti apa akhir dari cerita kita. Kita hanya perlu menjalankan apa yang telah dituliskan olehnya, bukankah kita sendiri yang memilihnya menjadi sutradara untuk cerita kita? Dan semoga rasaku, lukaku, murkaku, peluhku, dan rinduku menyatu pada hujan pagi ini. Semoga hujan bersedia membalut rasa dan menjadikannya tiada. Semoga, aku dan kamu selalu dirundung bahagia. Semoga..














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Hanya manusia biasa. Tak memiliki hal istimewa ataupun yang di istimewakan..